Suatu siang sekitar pukul 11-an mendekati jam makan siang,
aku dan dua orang temen lagi kelaparan banget sehabis kuliah dari jam tujuh
pagi sampai jam sepuluh pagi..niatnya sih kita pengen makan siang di kantin
kampus aja mengingat jarak yang deket dan gakkusah keluar gerbang kampus
segala. Males soalnya
Akhirnya kita keluar gerbang kampus juga, kata anak-anak sih
diluar kampus banyak warung yang jual berbagai variasi makan siang disbanding
kantin kampus. Yang lebih penting adalah: harga makanan di luar kampus katanya
gak bikin kantong anak kost kayak kita gini jadi cekak! Oke, berbekal informasi
tersebut, kami memutuskan untuk makan ke luar kampus. Hehehe… kita berempat pun
jalan kaki keluar kampus, mencari warung yang tepat untuk disinggahi. Dari
mulai warung nasi, warung soto
bertebaran disini. Tapi akhirnya, pilihan kami jatuh pada warung mi ayam.
“Mi ayam aja yuk, udah lama kita gak makan mi ayam!” ajak
Dian yang langsung disambut dengan anggukan setuju dari kami.
aku dan temen-temen masuk ke warung mi ayam yang gak begitu
besar tempatnya, lalu kami mengambil tempat duduk dan memesan kepada ibu
warungnya.
“Bu, pesan mi ayam 4 sama es jeruknya 4 ya bu.” Pesan Nia.
Kami pun menunggu pesanan mi ayam itu dengan perut
kelaparan. Bau harum khas mi ayam pun membuat kami makin lapar saja. Sekitar 15
menit dibuat, mi ayam pun datang ke meja kami dan kami langsung menyantapnya.
Nikmat banget rasanya siang-siang gini makan mi ayam plus minumnya es jeruk.
Hmmmmm…
Aku, Dian dan Nia sudah lebih dulu menghabiskan mi ayam.
Sedangkan Erni,masih saja belum habis. Maklumlah, dia memang lambat kalau
makan. Namun tiba-tiba Erni mendorong mangkok mi ayamnya dengan wajah kaget
bercampur geli.
“Loh, kamu kenapa Er?” tanyaku heran.
Erni geleng-geleng sambil menatap mangkok itu dengan wajah geli plus ngeri.
Membuat kita penasaran.
“Kamu kenapa Er?”
Erni menyuruh kami mendekat,
“Mi ayamnya ada uletnya. Hiii…” jawab Erni dengan suara
berbisik, takut sang empunya warung mi ayam jadi tersinggung.
“Mana?” Tanya Nia penasaran.
Erni mengaduk isi mangkok mi ayamnya yang masih separo. Lalu
dengan sendoknya, ia menunjukkan seekor ulat daun kecil berwarna hijau muda
dengan ruas-ruas ditubuhnya dan sudah mati. Otomatis, kami pun langsung ikut
geli dan ngeri melihat ulat itu walau pada dasarnya ulat itu sudah mati karena
kepanasan disiram kuah panas tadi. Ulat itu tidak mungkin berasal dari mi atau
ayamnya. Aku yakin ulat itu berasal dari daun sawi karena ulat itu adalah ulat
daun. Si pemilik warung nampaknya malas mencuci daun sawi yang digunakan dalam
masakannya, atau malah semenjak dibeli dari pasar, ia enggan untuk mencuci atau
sekadar memilah-milih sawinya dan memlih untuk langsung memajangnya di etalase
dagangan.
Aku, Nia dan Dian melihat mangkok kami yang masing-masing
sudah habis daritadi. Membayangkan apabila ternyata tadi kami makan ulat sawi
juga. Hiiii… masih beruntung Erni mengetahui ulat itu sebelum sempat dia
menghabiskannya. Sedangkan kami? Jangan-jangan ada lebih dari satu ulat yang…
aaaaaa… itu semua membuat kami parno dan buru-buru keluar dari warung sial itu
setelah sebelumnya kami membayarnya.
“Haduh, gak lagi-lagi deh makan mi ayam disitu.
Kebersihannya minus banget.” Ujar Dian saat kami otw balik ke kampus.
“Iya ya, warung itu harus di blacklist. Jangan pernah kesana
lagi.” Sahut Nia gemas.
Sementara itu, Erni hanya diam. Mungkin masih syok.
“Udah Er, yang penting kan kamu gak jadi makan ulat itu
beruntung kamu nemuin itu sebelum kamu habisin tadi. Lah kita? Kita belum tentu
tau Er.. kalo…” kataku menghibur Erni.
“Ya, kalaupun kita makan ulat tadi tanpa sengaja juga gak
apa-apa, kan itu protein hewani.”
Apa-apaan sih Dian ini? Bisa-bisanya mengkaitkan antara
protein dan ulat dengan bentuk yang sangat menjijikkan itu? -__-
“Mungkin mi ayamnya organik alias gak pake pestisida. Jadi
masih ada ulat di daun itu.” Tandas Nia.
“Ngawur, organik sih organik, tapi gak gitu juga
kaliiii..!!”