Rabu, 05 November 2014

PEKA dikit, dong!



Oh, hi!
Aku baru belajar satu hal. Sebuah sifat buruk manusia yang susah dihilangkan.

Manusia itu memang gak peka.

Peka  yang sedang aku bicarakan disini, bukan peka yang berbau cinta-cintaan. Bukan peka yang akhir-akhir ini sering dikeluhkan seorang wanita terhadap kekasihnya.

Bukan. Bukan PEKA yang itu.

Tetapi Peka terhadap tanda dan isyarat yang sudah diberikan oleh Allah SWT secara tidak langsung kepada kita. Terkadang, sebelum kita benar-benar mengmabil sebuah keputusan, secara tidak langsung Allah sudah memberi ‘sinyal’ atau isyarat tentang dampak apa saja yang nantinya bakal terjadi ketika kita mengambil keputusan itu.  Entah lewat mimpi atau lewat apa saja. Dan itu berlangsung berkali-kali. Namun, ya lagi-lagi, kita manusia memang gak peka terhadap Tuhannya sendiri. Kita cenderung lebih peka terhadap sesama manusia, apalagi gebetan. Iya gak?
Lalu setelah kita sudah kadung mengambil keputusan dan mengabaikan ‘sinyal’ dari Allah dan ternyata keputusan itu membawa dampak buruk terhadap kita, barulah penyesalan itu datang.

Lantas, siapakah disini yang patut disalahkan?
Menyalahkan diri sendiri dikala sedang dihimpit dengan situasi seperti ini sangatlah buruk.

Menyalahkan Allah? Tentu tidak bisa! Dia-lah maha pemberi petunjuk, namun kita yang mengabaikannya. Ah, manusia itu memang tempatnya naïf.

Tulisan ini sangat menggambarkan keadaanku sekarang, dulu aku memang sangat naïf. Gak peka. Mengambil keputusan tanpa memperhatikan sinyal yang sudah Allah berikan. Sinyal itu datang gak Cuma sekali-dua kali, melainkan berkali-kali! Tapi ya itu, aku emang gak peka. Jadilah sekarang aku Cuma bisa menyesal….

Jumat, 24 Oktober 2014

rindu



Hi, sudah lama sekali semenjak bulan lalu,  aku tidak pernah menulis apapun selain tugas kampus..
Sudah lama sekali aku meninggalkan dunia menulis.
Dunia yang dulu sangat aku cintai dan seperti sudah mendarah daging dalam tubuhku…

Tapi sekarang?
Mengapa semua terasa begitu sulit? Untuk merangkai sebuah kalimat pun, rasanya sangat susah. Untuk merangkai sebuah paragraph yang berisi dengan kisah yang bisa mengggugah emosi , juga sangat sulit. Well, bahkan menurutku tulisan yang sedang aku tulis ini, sangatlah aneh.
Entah mengapa, aku juga belum tahu pastinya. Yang aku tahu, untuk mengetik setiap tuts pada keyboard laptop, tanganku seperti tak bernyawa, seperti tak ada sinkronisasi yang bagus dengan pikiranku…

Sejujurnya, aku rindu dunia menulis. Dimana waktu itu aku masih dengan sangat lihai merangkai aksara demi aksara dalam sebuah cerita…dimana waktu itu aku masih dengan sangat mudahnya menulis sebuah cerita dengan unsure emosi yang kental di dalamnya…

Aku rindu semua itu.

Minggu, 05 Oktober 2014

that was awesome September

September, 2014

mungkin bulan ini akan menjadi bulan yang gak akan pernah aku lupakan seumur hidupn inku... sama seperti bulan September 2011.

bulan ini begitu banyak memberiku kenangan dan pelajaran berharga. tidak perlu aku sebutkan satu persatu apa saja yang telah ku alami pada bulan ini, yang jelas aku sesungguhnya sedikit tidak rela ketika bulan ini harus berakhir dan digantikan oleh bulan Oktober.


Rabu, 07 Mei 2014

a big disaster



Today, I’ve passed the evaluation test with the materials are set up infuse and oxygenitation. The teacher was so good. We were all enjoy to pass the eval with him and of course we felt a little bit strained because some of us forget about the materials.

I returned home at 2 pm and ate some snack. OMG? Ate snack? How about with my diet program? Forget it! I’m very starving when I arrived at home. I offend the rules, I couldn’t live with strict rules include the strict rules which rule my eat cycle. Another problem why finally I cancelled my diet program is.. the supplement was so expensive. I couldn’t re-stock it for a month. If I forced to still buy it, what would happen with my financial?

 I getting frustrated with my weight. Especially, when  I looked on the scale and the needle showing it into number 60 :( see? How fat am I now? My weight getting increased up to 5 kg :(. All my body totally looks bigger, my cheeks getting chubby and my clothes being tight on me. OMG THIS IS SUCH A BIG DISASTER !

Now, I’ve to stop this fat to growing up wildly. I don’t wanna get obesity. I’m already overweight. I’ve checked on the diet website and they said that I’m overweight. I need to decreased for 3 kg. but do u know? Its not as easy as you said :(

Kamis, 10 April 2014

A Story From Dormitory



Ya, akhirnya setelah sebulan aku hidup di penjara suci a.k.a asrama, skarang aku bisa berkumpul bersama keluarga dirumah (tanpa orangtua, karena ortu aku di bekasi) dan yang terpenting adalah, aku bebas bisa kemana aja tanpa harus nulis di buku keluar. Oh ya, pengalaman di asrama itu menyenangkan tapi sulit dijalani. Ya iyalah…


30 november 2013
Awal hijrahnya aku dari rumah menuju asrama yang sesungguhnya gak begitu jauh dari rumahku. Asramanya terletak di dekat pusat kota Jogja. Saat itu aku berangkat dengan membawa 2 koper ukuran sedang, 1 tas jinjing dan satu tas ransel. Sumpah, rasanya tuh berat banget ninggalin rumah. Membayangkan bagaimana hidup disana nanti. Full of rules! Of course. aku dan temen-temen sampe di asrama pas maghrib. Baru kita melepas lelah dan hendak menata barang, langsung diteriakin buat sholat berjamaah maghrib. Oke, its good. Aku pikir dengan hidup disini, aku akan menjadi lebih disiplin dalam urusan ibadah. Okey, maghrib plus dzikir sudah selesai, dilanjut makan malam terus sholat isya. Then, pukul 21.00 kita semua disuruh kumpul di aula buat nonton film sang pencerah. Malem-malem disuruh nonton film dalam keadaan capek, membuat semua penonton termasuk aku pun langsung tepar di bangku masing-masing.
Keesokannya, kita bangun jam 3 pagi buat sholat lail 11 rakaat dilanjut sholat subuh sampe jam 5. Habis itu tidur lagi? Jangan ngarep! Karena waktu itu hari minggu, jadilah kita semua disuruh jalan pagi sekaligus senam sama ibu-ibu. Entah udah berapa kali aku nguap waktu senam. Ngantuukk banget rasanya. Mata susah dikompromiin buat melek.


And the next day…

Ya pokoknya begitulah kegiatan sehari-hari di asrama. Setiap sholat selalu berjamaah di musholla dan itu ada tanda tangan absennya men! Jadi siapa yang gak ikut sholat jamaah, bakal ketauan. aku sendiri sih, pernah gak ikut sholat di Musholla dan lebih milih buat sholat di kamar. Alasannya satu, dzikirnya kelamaan. Hahaha… nakal sekali diriku ini. Nah, dari hari senin-sabtu, setiap habis maghrib kita selalu ngaji dan setoran hafalan surat pendek sampai isya. Setelah isya sampe jam 9 kita ada kajian islam sama kelas bahasa.
Semenjak di asrama, jam kuliah molor dari jam 7, dosen baru mau datang jam 9. Nah, itu dia enaknya, jadi masih ada waktu buat aku dan temen-temen buat tidur lagi setelah subuh. Hahaha…
Kamarku waktu itu menempati nomer 19. Satu kamar berisikan 4 orang. Yaitu aku, Tika dari purworejo, rani & wati dari Lombok. Satu kamar bersama orang-orang dari beda daerah unik juga ya, kami terkadang belajar bahasa masing-masing daerah, berbagi cerita tentang daerah masing-masing.
Hari-hari berikutnya aku lewati dengan tenang. Semua rutinitas yang sudah terjadwal, aku jalani secara ikhlas. Dan bagian yang paling menyebalkan adalah: setiap hari minggu pasti asrama selalu ada acara. Jalan-jalan lah, masak-masaklah, intinya, waktu hari minggu, kita seperti gak dikasih waktu buat istirahat.

Setiap kamar, pasti punya kebiasaan. Sama halnya juga dengan kamar 19. Setiap sore, pasti kita berempat nyeduh mie. Ya, gak tau siapa yang mulai, pokoknya ini udah jadi kebiasaaan dan rasanya sore gak akan lengkap tanpa nyeduh mi dulu. Nah, ada lagi nih kebiasaan kamar 19. Yaitu, nonton film sebelum tidur dan baru tidur kalau udah jam 12-1 malem. Sampe2 kita ditegur sama ibu asrama. Hahahaha…

Oh ya, sekarang soal makan. Di asrama, kami sudah disiapkan menu makanan untuk pagi siang dan malam. Menunya sih ganti-ganti. Bisa ambil nasi dan sayur sepuasnya. Tapi kalau lauk, biasanya udah di jatah sama ibu dapurnya. Kadang lauknya tempe, tahu, telor dan ayam. Khusus untuk ayam dan telor, biasanya udah dijatah satu orang dapat satu. Tapi kalau tahu dan tempe, bisa ambil sepuasnya.

Setiap orang punya selera masing-masing. Ada yang suka makan ini, ada yang suka makan itu. Ya termasuk kami semua. Kadang, ketika menu makanan dari dapur kurang menggugah selera, atau mungkin gak suka dengan menunya, biasanya kami makan diluar bareng-bareng. Ketika ditanya mau kemana sama ibu asrama? Kita kompak menjawab mau ke ATM. Tapi terkadang kita punya strategi khusus buat keluar asrama. Yaitu keluar one by one alias satu-satu. Hhehe.. karena asrama terletak di tengah kota, jadilah kita gampang mencari warung makan. Aku sendiri sih, lebih sering makan di warung bakso atau ayam goreng. Hohoho…

Kalau di asrama, gak kuliah dong?
Selama di asrama, kegiatan kuliah kami masih berjalan normal sesuai jadwal. Hanya saja, kegiatan kuliah berlangsung hanya di satu ruangan yaitu aula asrama. Ruangannya sih sama-sama besar, tapi gak ada ac nya brooww.. hoho… but,, its okay lah. Itung-itung merakyat.  Satu kejadian unik sering terjadi saat perkuliahan di asrama. Biasanya kalau di kampus, yang dateng duluan itu pasti mahasiswa/I nya. Tapi kalau disini, dosennya yang datang duluan. Karena yah, mentang-mentang jarak antara kamar dan aula asrama itu deket, jadilah kita suka leha-leha dikamar dulu sampe ada yang teriak-teriak: “Dosennya udah dateng tuh!” nah, baru deh tuh, kita siap-siap ngacir terus pake sepatu. Sampe-sampe ada dosen yang kayaknya kesel karena datengnya duluan, nantang kita untuk siapa yang lebih dulu sampe di kelas. Hahahaha….


Pengalaman horror.
Yang namanya setiap tempat pasti ada penghuninya. Termasuk asrama ini. Bentuknya apa, kami sendiri gak pernah mempermasalahkan. Toh, selama di asrama, hidup kami adem-ayem aja sampai tiba saatnya asrama menjadi gempar dan mencekam…
Malam itu, kami semua baru saja melaksanakan sholat maghrib bersama di musholla asrama. Setelah sholat, seperti biasa kami mengaji dan dzikir. Aku lalu menghampiri ketiga teman kamarku yaitu Rani, Tika dan Wati. Shaf solat mereka memang berjauhan denganku, makanya aku menghampiri mereka untuk sekedar ngobrol biasa. Namun ada yang berbeda. Muka mereka nampak tegang.
H             : “Kalian kenapa? Kok tegang gitu?”
T              : “Tadi aku barusan denger suara orang nangis sambil teriak gitu.”
H             : “Serius? Dari mana sumber suaranya?”
R             :  “Dari belakang sini. Suaranya tuh awalnya pelan, eh lama-lama kenceng.”

Aku lantas melirik ke belakang musholla yaitu aula yang lampunya dimatikan. Lama-lama horror juga sih ngeliatin ruangan yang besar tapi gelap. Hiiiii… perhatianku beralih ke Wati yang diem aja. Kayaknya dia ketakutan banget deh, sampe gak bisa ngomong gitu. Kami pun, mencoba mengajak dia buat ngobrol bareng, mengalihkan ketakutannya.
Tak lama kemudian, ibu asrama menginstruksikan kami untuk duduk membentuk lingkaran dan membuat kelompok mengaji. Oke, aku dan ketiga teman sekamarku tadi langsung duduk. Ditambah beberapa teman yang ikut bergabung juga.
                “Sekarang mengaji satu orang satu ayat, nanti gantian ya..”  perintah ibu asrama.
Dan baca al-qur’an pun dimulai dari aku, erni, nia dan Wati.
                “Wati, cepet baca, sekarang giliranmu.” Kata Erni.
Tapi Wati malah diem aja, ia menutup setengah wajahnya dengan al-qur’an yang dia pegang.
                “Wati, kamu kenapa?” Tanya kami semua khawatir ketika melihat matanya yang tiba-tiba sudah berkaca-kaca hendak menangis. Tatapannya mendadak kosong.
                “Wati?!”

Panggilan kami sama sekali gak digubris hingga akhirnya dia kabur dan lari terbirit-birit sambil menangis kencang. Otomatis, semua orang yang ada di musholla langsung teralihkan perhatiannya. Aku, Tika dan Rani sebagai teman sekamarnya, langsung buru-buru ngejar dia sampai  ke kamar. Dengan mukena yang masih dipake, kami lari-lari juga ngejar dia. Oh, so dramatic. Kegiatan ngaji di musholla pun berhenti. Sesampainya dikamar, kami melihat Wati duduk di kasurku sambil menangis dan berteriak : “Jangan Tinggalin akuuuu!!!” aku, Rani dan Tika langsung menghampirinya. Memeluk dia, memegang tangannya sambil berkata: “Istighfar, Ti,” tapi dia malah menangis, makin keras malah dan dia berkata: “Tanganku berat, tanganku berat!!”


Rani langsung menenangkan sambil mengajak bicara Wati dengan bahasa Lombok. Mungkin dengan cara seperti itu, Wati bisa menjadi tenang. Saking sibuknya kami nenangin Wati, kami gak sadar bahwa di depan kamar kami sudah banyak orang yang datang. Entah ingin membantu atau hanya ingin kepo. Bahkan ada satu temen cowok kami yang masuk ke kamar. Mungkin niatnya membantu, tapi gak dibolehin sama ibu asrama.  Ibu asrama akhirnya datang dan ikut membantu menenangkan Wati. Hingga tak berapa lama, tangisan Wati sudah mulai mereda. Entah apa penyebab dia bisa histeris kayak gini. Yang pasti, disaat seperti ini, aku gak mungkin menuntut dia untuk bercerita kejadian sebenarnya mengingat keadaannya yang masih syok berat. Satu persatu temen yang berda di kamarku perlahan keluar meninggalkan kami berempat yang juga syok atas kejadian ini. Tapi aku, Tika dan Rani memprediksi bahwa ini semua ada sangkut pautnya dengan makhluk astral yang ada di asrama ini. Adzan isya berkumandang. Tapi kami berempat masih dikamar menemani Wati yang dari tadi diam sambil terus memeluk bantal dan Al-qur’an. Matanya masih sembab dan pandangannya juga kosong. Untungnya ibu asrama mengijinkan kami untuk tidak ikut kegiatan malam ini. Karena kami harus menemani Wati.

Sebisa mungkin kami berempat membuka obrolan, dari yang nyambung sampai yang gak nyambung. Ini semua kami lakukan agar suasana kamar tidak tegang. Sesekali kami mengajak Wati berbicara meski terkadang ia belum bisa merespon dengan baik. Pokoknya, jangan biarin dia ngelamun lagi. Tika mengirimkan BBM kepadaku, dia mengatakan kalau dia merasa bahwa dikamar ini, masih ada aura yang gak enak. Sepertinya Wati masih diikutin. Oke, kami pun baca Al-Qur’an untuk membuat kamar ini jadi lebih adem. Lama-lama kemudian, keadaan Wati makin membaik, ia perlahan mulai berbicara kepada kami.

Akhirnya, pukul Sembilan ketika semua kegiatan malam sudah selesai, ibu asrama datang ke kamar kami. Beliau memberikan kami banyak nasihat yang begitu menenangkan hati kami yang sedang syok sekarang. Jujur, ketika melihat Wati tadi, aku ikut merinding juga. Tapi aku berusaha menyembunyikannya, takut jikalau aku menunjukkan perasaanku, akan menambah buruk suasana. Sekitar 20 menit ibu asrama memberi kajian kecil di kamar kami, beliau pun pergi. Malam itu, suasana kamar kami sudah agak tenang yah walaupun masih terasa horror. Kami pun memutuskan untuk tidur bersama dibawah berempat. Meskipun sempit dan seperti ikan pindang yang lagi dijemur, kami merasa lebih baik.

Keesokannya Wati bercerita tentang penyebab dia bisa histeris kayak semalem. Ternyata dia mendengar suara tangisan itu seolah-olah berada di kepalanya dan semakin kencang hingga telinganya hampir pecah. Nah, pas dia lari, dia melihat seperti ada sosok yang tersenyum kepadanya. Dengan senyum yang mengerikan pokoknya. Terus, soal tangan dia yang berat, itu merupakan reaksi syoknya.. gitu ceritanya. Alasan mengapa dia gak mau berbicara meski sudah ditemani, dia merasa masih ada yang ngikutin sampai ke kamar.
Kami semua ber ‘oohh’ ria. Tak apa, ini akan menjadi sebuah kenangan yang gak akan terlupakan :)
Udah sih, itu aja yang mau aku tulis.. pokoknya aku kangen banget sama asrama sekarang :(

Jumat, 04 April 2014

Untittled



Panasnya Jogja siang hari ini membuat sebagian orang mengeluarkan jumlah keringat lebuh dari biasanya. Beberapa orang sedang mengusap peluh mereka sambil menyumpahi terik matahari yang menurutnya berlebihan.

Itu wajar, mengingat perubahan suhu ekstrim yang terjadi di kota gudeg beberap atahun belakangan ini. Mungkin masyarakat sedang berdamai dengan kenaikan suhu di kota tercinta ini. Padahal dulu, kota Jogja begitu sejuk. Entahlah, globalisasi mengubah segalanya.

Lampu lalu lintas masih merah, aku menunggu dibelakang sekitar garis zebra cross. Kira-kira sekitar 30 detik lagi aku harus menahan gas motorku hingga akhirnya lampu berganti menjadi warna hijau. Selama menunggu lampu merah, ada pemandangan menarik disini.  Begitu semua kendaraan berhenti, beberapa pengamen jalanan menari-nari di tengah zebra cross. Mereka menggunakan selendang kumal dan berdandan ala kadarnya, kaki telanjang mereka nampak kebal dengan panasnya aspal jalanan siang itu. Padahal kami saja yang memakai alas kaki, kerap mengumpat dengan panasnya udara siang. Music pengiring tarian mereka berasal dari tape usang dengan volume yang tak seberapa terdengar jelas. Hanya samar-samar karena sisanya telah ditutupi oleh deru mesin kendaraan bermotor. Dilihat  dari gerakan mereka dan didengar dari alunan musiknya, mereka sedang menari Jawa. Entah apa nama tariannya secara lengkap, yang pasti sekumpulan penari jalanan yang terdiri dari dua anak perempuan dan satu wanita paruh baya itu menari dengan semangat.
Mengetahui, lampu hampir hijau, mereka langsung menghentikan tariannya dan menghampiri para pengguna jalan. Berharap kedermawanan setiap penonton yang tadi menyaksikan perrtunjukkan kecilnya hanya untuk mengganjal perut. Aku lalu memberikan mereka uang. Tak banyak memang, tapi aku harap uang itu bisa membuat mereka terus menari keesokan harinya. Juga, uang itu aku berikan sebagai bentuk apresiasiku terhadap kegigihan mereka meraup rezeki.
Lampu hijau menyala, aku pun melanjutkan perjalanan tapi pikiranku masih tertuju kepada para pengamen tadi. Sungguh keras usaha mereka  untuk bertahan hidup. Menari ditengah teriknya hari, pekatnya debu dan polusi, tapi mereka masih bisa tersenyum ditengah-tengah himpitan ekonomi. Usaha mereka patut diacungi jempol walaupun tarian mereka jelas kalah dari para seniman-seniman hebat diluar sana.

Kira-kira dua kilometer motorku melaju, aku kembali bertemu lampu merah. Kali ini lampu merah tidak berhenti lama seperti lampu merah sebelumnya, hanya 20 detik. Aku memberhentikan motor tepat dibelakang garis putih zebra cross. Tidak berapa lama, seorang ibu paruh baya berpakaian lusuh sambil menggendong anaknya yang kira-kira baru berusia satu tahun langsung menghampiriku sambil menyodorkan bekas gelas air mineral, memintaku untuk memasukkan uang kedalamnya.
Tadinya aku sempat bimbang apakah aku akan memberinya uang atau tidak. Mengingat dari postur tubuh pengemis itu yang nampak segar, hanya bajunya saja yang lusuh dan kulitnya yang gelap akibat terpaan sinar matahari terus menerus yang menjadi senjata untuk dikasihani oleh orang-orang. Tapi, rasa ibaku langsung hadir ketika melihat anak perempuan yang berada dalam gendongan pengemis itu. Bahkan aku tidak tahu apakah itu ibu kandungnya atau bukan. Anak perempuan itu nampak diam, lelah dan pasrah dalam gendongannya. Tubuhnya menghitam, rambutnya memerah karena harus terkena sinar matahari yang menyengat kulit terus menerus. Anak itu tidak berontak sedikitpun, ia hanya diam menurut kemana arah sang pengemis itu membawanya. Tatapannya terkadang kosong ketika melihat wanita yang menggendongnya itu menyodorkan tempat bekas air mineral, tempat pengumpulan uang hasil kedermawanan pengguna jalan. Mungkin, anak itu sudah mengerti dan malu melihat dirinya ikut mengemis. Mengandalkan tampang melas untuk mendapatkan belas kasihan dan tentu saja uang dari pengguna jalan untuk bertahan hidup. Tapi apa daya, ia tak bisa berbuat apa-apa.

Lampu hijau menyala, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju kampus. Masih terngiang-ngiang tentang dua lampu merah tersebut. Pada lampu merah pertama, ada 3 orang pengamen tari jalanan yang begitu gigih mencari rezeki. Kaki telanjangnya yang langsung menyentuh panasnya aspal jalanan, adegan tarinya yang seolah menantang maut karena berada didepan banyak kendaraan yang siap menerjang tubuh kurus mereka, juga senyuman itu. Mereka pandai menyuguhkan senyum kepada semua orang meskipun aku tahu bahwa kehidupannya sulit. Bahwa dibalik senyuman mereka, terdapat banyak beban yang menghimpit.

Sedangkan di lampu merah yang kedua…
Aku tidak suka melihat orang yang masih kuat fisiknya, yang masih diberi kemampuan untuk mencari rezeki halal, tapi dia memilih untuk mengemis, menadahkan tangan sambil memasang tampang melas kepada orang-orang dengan harapan tampang melasnya itu akan membuat iba orang-orang lalu memberinya uang. Itu masih mending, diluar sana banyak pengemis yang pura-pura cacat, sakit dan sebagainya agar penghasilannya bertambah. Yang lainnya, mereka mengemis sambil melibatkan anak-anak didalamnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari mereka yang seharusnya diisi dengan kegiatan positif seperti belajar, sekolah dan bermain, tapi ini, har-hari mereka hanya dihabiskan untuk mengemis. Sungguh ironi. Hak mereka terampas begitu saja demi untuk bertahan hidup.

Sungguh miris memang melihat kenyataan hidup ini. Ada yang berjuang keras demi bisa mencari sesuap nasi, tapi ada juga yang hidupnya sudah berkecukupan masih saja merasa kurang. Tuhan memang telah memberikan garisan takdir masing-masing kepada manusia. Dan sekarang tugas kita adalah bersyukur…

kenapa ya , aku udah ga sekuat dulu?

hari ini dapet kejadian apes ditempat kerjaan baru dan aku langsung kena tegur kepala ruangan. dan rasanya langsung cesss banget ke dada. la...