Untittled



Panasnya Jogja siang hari ini membuat sebagian orang mengeluarkan jumlah keringat lebuh dari biasanya. Beberapa orang sedang mengusap peluh mereka sambil menyumpahi terik matahari yang menurutnya berlebihan.

Itu wajar, mengingat perubahan suhu ekstrim yang terjadi di kota gudeg beberap atahun belakangan ini. Mungkin masyarakat sedang berdamai dengan kenaikan suhu di kota tercinta ini. Padahal dulu, kota Jogja begitu sejuk. Entahlah, globalisasi mengubah segalanya.

Lampu lalu lintas masih merah, aku menunggu dibelakang sekitar garis zebra cross. Kira-kira sekitar 30 detik lagi aku harus menahan gas motorku hingga akhirnya lampu berganti menjadi warna hijau. Selama menunggu lampu merah, ada pemandangan menarik disini.  Begitu semua kendaraan berhenti, beberapa pengamen jalanan menari-nari di tengah zebra cross. Mereka menggunakan selendang kumal dan berdandan ala kadarnya, kaki telanjang mereka nampak kebal dengan panasnya aspal jalanan siang itu. Padahal kami saja yang memakai alas kaki, kerap mengumpat dengan panasnya udara siang. Music pengiring tarian mereka berasal dari tape usang dengan volume yang tak seberapa terdengar jelas. Hanya samar-samar karena sisanya telah ditutupi oleh deru mesin kendaraan bermotor. Dilihat  dari gerakan mereka dan didengar dari alunan musiknya, mereka sedang menari Jawa. Entah apa nama tariannya secara lengkap, yang pasti sekumpulan penari jalanan yang terdiri dari dua anak perempuan dan satu wanita paruh baya itu menari dengan semangat.
Mengetahui, lampu hampir hijau, mereka langsung menghentikan tariannya dan menghampiri para pengguna jalan. Berharap kedermawanan setiap penonton yang tadi menyaksikan perrtunjukkan kecilnya hanya untuk mengganjal perut. Aku lalu memberikan mereka uang. Tak banyak memang, tapi aku harap uang itu bisa membuat mereka terus menari keesokan harinya. Juga, uang itu aku berikan sebagai bentuk apresiasiku terhadap kegigihan mereka meraup rezeki.
Lampu hijau menyala, aku pun melanjutkan perjalanan tapi pikiranku masih tertuju kepada para pengamen tadi. Sungguh keras usaha mereka  untuk bertahan hidup. Menari ditengah teriknya hari, pekatnya debu dan polusi, tapi mereka masih bisa tersenyum ditengah-tengah himpitan ekonomi. Usaha mereka patut diacungi jempol walaupun tarian mereka jelas kalah dari para seniman-seniman hebat diluar sana.

Kira-kira dua kilometer motorku melaju, aku kembali bertemu lampu merah. Kali ini lampu merah tidak berhenti lama seperti lampu merah sebelumnya, hanya 20 detik. Aku memberhentikan motor tepat dibelakang garis putih zebra cross. Tidak berapa lama, seorang ibu paruh baya berpakaian lusuh sambil menggendong anaknya yang kira-kira baru berusia satu tahun langsung menghampiriku sambil menyodorkan bekas gelas air mineral, memintaku untuk memasukkan uang kedalamnya.
Tadinya aku sempat bimbang apakah aku akan memberinya uang atau tidak. Mengingat dari postur tubuh pengemis itu yang nampak segar, hanya bajunya saja yang lusuh dan kulitnya yang gelap akibat terpaan sinar matahari terus menerus yang menjadi senjata untuk dikasihani oleh orang-orang. Tapi, rasa ibaku langsung hadir ketika melihat anak perempuan yang berada dalam gendongan pengemis itu. Bahkan aku tidak tahu apakah itu ibu kandungnya atau bukan. Anak perempuan itu nampak diam, lelah dan pasrah dalam gendongannya. Tubuhnya menghitam, rambutnya memerah karena harus terkena sinar matahari yang menyengat kulit terus menerus. Anak itu tidak berontak sedikitpun, ia hanya diam menurut kemana arah sang pengemis itu membawanya. Tatapannya terkadang kosong ketika melihat wanita yang menggendongnya itu menyodorkan tempat bekas air mineral, tempat pengumpulan uang hasil kedermawanan pengguna jalan. Mungkin, anak itu sudah mengerti dan malu melihat dirinya ikut mengemis. Mengandalkan tampang melas untuk mendapatkan belas kasihan dan tentu saja uang dari pengguna jalan untuk bertahan hidup. Tapi apa daya, ia tak bisa berbuat apa-apa.

Lampu hijau menyala, aku kembali melanjutkan perjalanan menuju kampus. Masih terngiang-ngiang tentang dua lampu merah tersebut. Pada lampu merah pertama, ada 3 orang pengamen tari jalanan yang begitu gigih mencari rezeki. Kaki telanjangnya yang langsung menyentuh panasnya aspal jalanan, adegan tarinya yang seolah menantang maut karena berada didepan banyak kendaraan yang siap menerjang tubuh kurus mereka, juga senyuman itu. Mereka pandai menyuguhkan senyum kepada semua orang meskipun aku tahu bahwa kehidupannya sulit. Bahwa dibalik senyuman mereka, terdapat banyak beban yang menghimpit.

Sedangkan di lampu merah yang kedua…
Aku tidak suka melihat orang yang masih kuat fisiknya, yang masih diberi kemampuan untuk mencari rezeki halal, tapi dia memilih untuk mengemis, menadahkan tangan sambil memasang tampang melas kepada orang-orang dengan harapan tampang melasnya itu akan membuat iba orang-orang lalu memberinya uang. Itu masih mending, diluar sana banyak pengemis yang pura-pura cacat, sakit dan sebagainya agar penghasilannya bertambah. Yang lainnya, mereka mengemis sambil melibatkan anak-anak didalamnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari mereka yang seharusnya diisi dengan kegiatan positif seperti belajar, sekolah dan bermain, tapi ini, har-hari mereka hanya dihabiskan untuk mengemis. Sungguh ironi. Hak mereka terampas begitu saja demi untuk bertahan hidup.

Sungguh miris memang melihat kenyataan hidup ini. Ada yang berjuang keras demi bisa mencari sesuap nasi, tapi ada juga yang hidupnya sudah berkecukupan masih saja merasa kurang. Tuhan memang telah memberikan garisan takdir masing-masing kepada manusia. Dan sekarang tugas kita adalah bersyukur…

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pengalaman pertama makan Mi Samyang

addicted?

What is your best achievement in your life?